Muhammad ar-Razi Fakhuddin memiliki nama lengkap Abdullah Muhammad bin ‘Umar ibn al-Husayn Ibn al-Hasan ‘Aliy al-Taymiy al-Bakriy al-Tabarastaniy al-Razi Fakhruddin, penganut faham As-Syafi’i dan terkenal dengan sebutan Ibn Khatib al-Syafi’i al-Faqih. Beliau lahir pada 25 ramadhan 543 H/1149 M, tepatnya di kota Ray yaitu sebuah kota terkenal di negara Dailan dekat kota Khurasan, dan meninggal di daerah Herat (Ray) pada tahun 606 H/1210 M. Adapun sebab wafatnya ar-Razi adalah bermula dari perselisihan besar terhadap pemuka pada masanya dan perdebatan pun terjadi mengenai akidah. Akhirnya mereka saling mencaci dan mengkafirkan, hingga akhirnya kaum tersebut meracuni ar-Razi dan meninggallah ar-Razi. (Al-Dhahabi, Muhammad Husain: 2006)
Adapun ar-Razi hidup pada paruh kedua abad ke 6 H. Periode ini merupakan periode terjadinya kebingunan bagi kehidupan kaum muslimin yang berpolitik, konvensi, keilmuan serta akidah. Maka kelemahan pun telah sampai hingga ke pemerintahan ‘Abbasiyyah yangmana pada saat itu kabar mengenai perang Salib terjadi di tanah Syam, kabar bangsa Tatar yang menndas tempat tinggal kaum muslimin, seluruh tentaranya bergerah serta mengganggu adanya pergaulan. Hidup pada masa terjadinya perbedaan mazhab dan akidah yang begtu kuat antara golongan Syafi’iyyah, Hanafiyyah serta Syi’ah. Selain itu banyaknya perbedaan mengenai teologi ketuhanan dan perdebatan yang tak kunjung usai antara kaum Syi’ah, Mu’tazilah, Murjiah, Bathiniyyah serta Karrahiyyah. (Ghofur, Saiful Amin: 2013)
Perjalanan menuntut ilmu ar-Razi diawali dengan ayahandanya sendiri yang merupakan murid Imam Bagawi. Kemudian ia mengembara ke berbagai daerah seperti Khawarizmi dan Khurasan. Di sana ia berguru keppada beberapa ulama termasyhur seperti al-Kamal as-Sam’ani, al-Majdi al-Jaili, dan sebagainya. Semasa hidupnya ar-Razi terkenal sebagai pakar ilmu logika, imam terkemuka dalam bidang ilmu syar’i, ahli afsir dan bahasa, serta ahli fiqh dalam mazhab Syafi’i. Bahkan ia juga dikenal sebagai orator ulung yang menguasai 2 bahasa yakni Bahasa Arad an Bahasa ‘Ajam. (Ghofur, Saiful Amin: 2013)
Tumbuh dalam kondisi banyaknya perdebatan di dunia keilmuan, membuat ar-Razi menjadi sosok yang begitu tangguh dalam memperjuangkan pendapatnya. Sebagaimana menurut Taha Jabir ‘Alwani, pola kritik kepada kaum filosof mengikut pola al-Ghazali (menulis tentang hakikat yang benar tentang objek, lalu meluncurkan buku berisi kritik atas hal itu). Tidak hanya pola kritik, namun materi serta sistematika ulasan yang digunakan ar-Razi tidak jauh berbeda dari tariqat al-mutaakhkhirin pada umumnya, dan al-Ghazali paa khususnya yaitu berfokus menolak pemikiran-pemikiran kaum mu’tazilah. (Khalid, Anas Shafwan: 2018)
Berbicara mengenai at-Tafsir al-Fakhr ar-Razi maka ada sebagian yang menyebutnya dengan tafsir Mafatih al-Ghaib ataupun tafsir al-Kabir. Sesungguhnya tafsir karya ar-Razi ini memiliki tiga nama sebagaimana yang telah disebutkan. Adanya perbedaan penyebutan nama kitab tersebut terjadi karena asal usul yang berbeda. Penamaan dengan kitab Tafsir Al-Kabir dikarenakan pada kebesarannya, sedangkan dengan ar-Razi karena disandarkan pada julukan nama pengarangnya, dan penamaan dengan tafsir Mafatih al-Ghaib sebab diilhami oleh sebuah istilah dalam Al-Qur’an surah Al-An’am [8]: 59 yang berbunyi “wa ‘indahu mafatih al ghaib …”. Penyebutan ketiga nama tersebut sama-sama popular dikalangan umat Islam. Menurut sejarah, tafsir ini disusun oleh ar-Razi setelah meguasai berbagai disiplin ilmu, seperti ilmu kalam dan logika. Kitab tafsir ini menjadi lebih populer setelah adanya usaha dari ulama untuk melakukan kajian dari berbagai aspek yang terdapat di dalamnya. (Firdaus: 2018)
Penulisan tafsir ar-Razi mengalami 2 gelombang. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Husaen al-Dzahabi bahwasanya keparipurnaan penulisan tafsir tersebut diakukan oleh sang murid yakni Ahmad bin Muhammad bin Abi al-Hazm Makki Najmuddin al-Makhzumi al-Qamuli yang wafat pada tahun 727 H. Pendapat lain mengatakan bahwa penulisan tafsir tersebut dilakukan oleh 3 orang yakni ar-Razi, selanjut Syihabuddin bin Khalil al-Khuwayy ad-Dimasyqi (w. 639) dan yang terakhir disempurnakan oleh Najmuddin al-Makhzumi al-Qamuli. Pada saat itu ar-Razi penafsiran ar-Razi sampai pada surah Al-Anbiya’, selanjutnya dilanjutkan oleh muridnya tersebut. Meskipun ditulis orang yang berbeda akan tetapi sulit dikatakan perbedaan antara keduanya. Sebab sang murid benar-benar telah menguasai metodologi dan idiom gurunya sedemikian tepatnya.
Adapun corak kitab at-Tafsir al-Fakhr ar-Razi lebih condong kepada ilmu falsafi dan sains. Meskipun di dalamya terdapat pembahasan mengenai ilmu hukum fiqh, balaghah, dan lain sebagainya akan tetapi perhatiannya tidak terlalu besar sebagaimana ketika beliau membahas ilmu falsafi dan sains. Sebagaimana yang banyak dilakukan ar-Razi tentang istinbath kepada ilmu-ilmu sains dan keilmuan-keilmuan baru lainnya. yangmana pada saat itu sedang berkembangnya tentang ilmu kimia dan lain sebagainya. Ar-Razi pun banyak melakukan penolakan terhadap pemikiran-pemikiran kaum filsuf saat itu. Ketika kaum filsuf memandang ketuhanan dengan akal, akan tetapi ar-Razi tetap konsisten dengan pendapatnya dan tetap memegang madzhab sunnah. (Mustaqim, Abdul: 2015) Oleh karena itu bisa dikatakan corak tafsir ar-Razi adalah corak falsafi dan sains.
Metode penafsiran tafsir Ar-Razi menggunakan metode tafsir tahlili. Sebagaimana Terlihat dari penyajiannya yang runtut dimulai dari surah Al-Fatihah hingga surah an-Nas dan juga disetiap ayatnya dijabarkan secara mendetail baik dari segi ilmu nahwu, balaghah, munasabah ayat dan lain sebagainya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdul Mustaqim metode tafsir tahlili adalah metode tafsir yang mencoba menjelaskan ayat Al-Qur’an secara analisis, berbagai aspek yang terkait dengan ayat Al-Qur’an dari segi aspek asbab nuzul, munasabah, balaghah, hukum dan lain sebagainya (Mustaqim, Abdul: 2015)
Ar-Razi dengan bahasanya menguraikan setiap permasalah secara gamblang dengan pemikirannya, ini menandakan bahwa sumber penafsiran yang ia gunakan adalah sumber tafsir bi al-riwayah (secara akal) meskipun beliau juga tetap mengambil sumber bi al-ma’tsur akan tetapi secara dominannya lebih mengacu kepada bi al-riwayah. Abdul Mun’im Namir mengkategorikan tafsir ar-Razi sebagai salah satu jenis tafsir bi al-ra’yi. Bahkan, al-Suyuthi menyebut ar-Razi sebagai “sahib al-‘ulum al-‘aqliyah”. Identifikasi rasionalitas atau penggunaan ra’y merupakan sesuatu yang wajar bagi ulama mutakhirin sebagaimana digambarkan di atas.
Pembahasan ar-Razi yang lebih banyak dalam ayat kauniyah, bukan berarti ar-Razi melewatkan ayat-ayat yang lain semisal ayat yang bertemakan tentang mu’amalah ataupun hukum. Ketika beliau menjelaskan tentang ayat hukum maka beliau tidak terlepas dari mazhab fiqhnya Imam Syafi’i.[1] Adapun sistematika tafsir ar-Razi disajikan dengan menggunakan point-point pembahasan yang di dalam tafsirnya diungkapkan dengan “al-masalah…, pembahasan perkata dari segi ilmu nahwu, balaghah, munasabah, asbab nuzul, serta penafsiran. Terkadang sisi penafsiran yang beliau ungkapkan juga mengambil qil mujtahid selainnya.
Beberapa point penting yang menjadi perhatian ar-Razi dalam kitabnya, diantaranya (a) munasabah antara ayat dan surah Al-Qur’an; (b) keilmuan sains dan filsafat yang lebih menonjol; (c) pendapatnya berasal dari pemikiran kaum Mu’tazilah, ar-Razi berpendapat sebagaimana pendapat ahli sunnah dan ia berkeyakinan dengan segala sesuatu yang telah ia tetapkan dari permasalahn ilmu kalam yangmana ar-Razi tidak sepakat dengan madzhab Mu’tazilah; (d) pendapatnya berasal dari imu fiqh, ilmu ushul, nahwu, dan balaghah, ar-Razi selalu menyebutkan ayat tentang hukum beserta mazhab para ahli fiqh Syafi’i dengan berbagai dalil dan pembuktian. Sebagaimana banyak ditemukan pembahasan masalah usul, nahwu, balaghah namun tidak seluas penjabaran tentang ilmu sains.